The Power of Dream
The
Power of Dream
St.Augustine pernah
mengatkan satu hal tentang keyakinan:
“Faith is something
you do not yet see, the reward of the faith is to see what you believe”
Saya terjemahkan
dalam bahasa sederhana, “Keyakinan adalah sesuatu yang tidak Anda lihat.
Hasil dari meyakini adalah melihat apa yang Anda yakini.”
Kutipan
dari St.Augustine itu begitu dalam memberikan makna nyata tentang keyakinan,
setidaknya dalam kehidupan saya pribadi. Saya, tidak dalam kapasitas sebagai
orang bijak seperti St. Augustine, namun berdasarkan pengalaman hidup, saya
ingin menambah bahwa “Memiliki sebuah impian yang kuat dan kosistensi berkarya
akan membuka jalan-jalan pencapaian yang tidak pernah terpikirkan”
Dalam
artikel ini saya ingin berbagi pengalaman, sesuai judul artikel ini, tentang
kekuatan sebuah impian (bukan mimpi, tetapi impian).
Sebelumnya
saya perlu menyamakan persepsi dulu, bahwa mimpi dan impian yang saya maksud
itu berbeda. Mimpi adalah produk ketidak sadaran dan berada di dalam area yang
tidak bisa kita kendalikan, misalnya ketika kita sedang tibur. Sedanghkan
IMPIAN adalah produk dari keinginan sadar yang ingin kita wujudkan. Jadi mari
kita terjemahkan dream yang dimaksud dalam artikel ini adalah
impian, bukan mimpi. Ijinkan saya memulai cerita saya ya sobat !
Billboard
Dalam
beberapa kesempatan, ketika melihat sebuah billboard, saya pernah berpikir dan
bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang menjadikan foto seseorang bisa
terpampang namplakdalam sebuah baliho atau billboard yang
segede gabandi pinggir jalan ini?” tentunya saat itu saya tidak
berpikir tentang seseorang yang dengan uangnya mampu menyewa sebuah tempat dan
memasang fotonya sendiri seperti kampanye para caleg.Lalu pertanyaan itupun
menjadi tertutup dengan pernyataan dalam diri, “Suatu saat, saya layak
ditampilkan di billboard atau baliho semacam itu”, meskipun saat itu saya tidak
mengerti caranya dan tidak mempunyai peta untuk itu.Pikiran itupun berlalu
tanpa jawaban yang pasti. Lalu, baru-baru ini, saya kaget ‘setengah mati’
ketika ada seorang penanggungjawab dari sebuah institusi pendidikan meminta
saya mau difoto bersama dengan seorang dosen berkewarganegaraan Amerika yang
bertugas di Indonesia. Tujuan dari pemotretan itu adalah sebuah foto besar yang
akan dimuat di sebuah billboard di pinggir jalan besar, di titik
simpang 6 di kota Semarang, di seberang Paragon Mall. Singkat
cerita, pada Selasa, tanggal 4 Juli 2012, saya menyaksikan billboard itu,
hampir tidak percaya bahwa yang ada di billboard itu adalah saya.
Jujur,
saya bangga menjadi bintang iklan sekarang, setidaknya untuk satu bulan ke
depan, foto saya terpampang di sebuah billboard di jalan besar salah satu pusat
keramaian di kota Semarang, dimana saya tinggal. Namun bukan perihal kebanggaan
itu yang ingin saya ceritakan.
Dulu,
sejak mengenal ada aplikasi mainan yang disebut fotofunia, setiap
orang bisa bermain-main memilih sebuah gambar dirinya sendiri dan secepat kilat
dia bisa membuat foto profil dengan fotonya terpampang di sebuah baliho atau
billboard atau di dinding sebuah gedung besar, sedang diperhatikan banyak
orang. Namun itu tidak nyata, artinya hanya sebuah rekayasa gambar yang baliho
atau billboard yang dimaksud memang tidak ada. Nah kalau dulu bermain
fotofunia, sekarang menjadi nyata. Bukan lagi gambar rekayasa tetapi beneran
saya sekarang kalau jalan melintasi jalan pemuda, dapat menyaksikan foto dengan
billboard ukuran 5×10 meter dan itu adalah foto saya dengan dosen dari Amerika
yang tadi saya ceritakan. Jadi sebut saja saat ini saya mulai menjadi bintang
iklan.
Saya
ingin melanjutkan cerita ini dengan mundur ke belakang perjalanan hidup saya.
Maaf, sebut saja agak sedikit narsis dalam hal ini, dan saya tidak akan
menyalahkan Anda.
Ceritanya
begini:
Tiga
tahun silam saya menulis sebuah buku, judulnya Bread for Friends. Buku itu
berisi 50 inspirasi yang saya maksudkan memberikan nutrisi mental dan membuat
pembacanya kelak mengalami hidup yang progresif. Hal yang saya bayangkan
adalah, buku itu akan dibaca puluhan ribu orang dan orang itu membawanya
kemana-mana dan buku itu juga diumumkan kepada ribuan orang yang membutuhkan
bacaan-bacaan positif untuk perbaikan perspektif kehidupan.
Lalu,
waktunya tidak lama berselang, tepatnya setelah dua tahun bekerja keras bahkan
ditolak puluhan penerbit, sampai akhirnya jatuh ke penerbit ke-33, draft buku
itupun dibukukan dan dalam 3 bulan menjadi buku best seller yang penjualannya
melebih apa yang pernah saya bayangkan bahkan saat ini pada bulan ke 13, buku
itu masih best seller dan menghasilkan royalti yang jumlahnya jauh lebih besar dari
yang saya bayangkan.
Khusus
tentang buku pertama saya itu, banyak cerita yang bisa saya ceritakan. Salah
satunya adalah ketika duduk di salah satu kursi dalam gerbong kereta, orang di
sebelah kita sedang membaca buku yang kita tulis. Perasaan kala itu tidak bisa
saya lukiskan dengan kata-kata. Cerita lain adalah orang yang sedang dipenjara,
yang sementara diputuskan tidak akan mendapatkan kebebasan, namun bercerita
tidak terlalu memikirkan kebebasan fisik lagi sebab telah berubah menjadi lebih
stabil mental dan kokoh hatinya setelah membaca buku Bread for Friends.
Tidak
hanya berhenti disitu, saya kaget menerima undangan untuk tampil di acara yang
sering sekali saya ingin ada di dalamnya. Buku Bread for Friends ditampilkan
dan saya dikenalkan dalam acara Kick Andy Show di Metro TV. Buku itupun
direkomendasikan kepada jutaan pemirsa Metro TV dan mungkin itu pula salah satu
pemberi pengaruh mengapa buku itu selalu cepat habis di toko buku dan saat ini
dicetak ulang kesekian kalinya. Bung Andy F Noya juga membeli 800 buku Bread
for Friends untuk dibagikan kepada pemirsa Kick Andy Show yang hadir dalam
shooting untuk tayangan 3 dan 5 juni 2011. Ada yang bertanya berapa saya bayar
sehingga buku Bread for Friends tanpil di KickAndyShow? Bagaimana saya membayar
sesuatu yang saya sendiri dipanggil pada saat tidak memikirkannya lagi.
Ok,
kembali lagi saya tekankan, bahwa bukan berhasilnya buku Bread for Friends yang
menjadi inti dari cerita perjalanan itu, namun bagaimana sebuah impian pada
akhirnya bukan lagi impian, tetapi menjadi sebuah kenyataan yang melebihi hal
yang diimpikan.
Mundur
lagi ke belakang pada masa kecil. Saya pernah membaca sebuah surat kabar lokal
Sumatera Utara. Masa itu adalah masa saya masih SD dan melihat sebuah gambar
seorang penyanyi yang sedang berfoto di atas makan Mozart. Awalnya saya tidak
begitu mengetahui siapa itu Mozart, namun dengan narasi yang cukup lengkap di
koran itu membuat saya mengerti sedikit tentang Mozart dan kontan saja ada rasa
mengagumi karya-karyanya dan seiring perjalanan hidup saya sering menikmati
lagu-lagu klasik Mozart dan para komposer lain yang sudah mendunia.
Khusus
untuk cerita ini, saya ingin memberitahu bahwa pada saat masa kecil itu,
tepatnya setelah selesai membaca ulasan tentang karya Amadius Mozart itu, kontan
saja saya, seroang anak desa yang ibunya buta huruf, ayahnya seorang guru SD,
yang hidup di kampung layanan listrik saja belum ada, membaca surat kabar yang
selalu telat 1 hari dikirim dari Medan, memiliki impian yang kuat mengunjungi
sebuah negara di Eropha dan berfoto di atas makam Wolfgang Amadeus Mozart, yang
wafat tahun 1791 itu. Satu kalimat sederhana yang begitu kuat dalam hati saya
saat itu, sambil menunjuk foto itu adalah , “Suatu saat, saya akan berfoto di
atas makam ini.” Dengan detail saya bayangkan saya berdiri di atas makam itu
dengan tangan yang saya biarkan jatuh dan senyum yang menyapa alam disitu.
Waktu itu saya belum begitu baik membaca peta dimana Austria dan berapa lama
waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan darat, laut atau udara ke Insbruck dari
Tapanuli Utara.
Para
sahabat tahu tidak? 25 tahun kemudian, tepatnya tahun 2004 silam, entah
mengapa, pada kesempatan pertama saya mengunjungi Eropha, saya dikirim untuk
melakukan studi singkat di Eropha Barat. Selain Jerman, Belanda, Italy,
Perancis, Swiss, salah satu negara yang kami kunjungi adalah Austria. Saat itu,
saya bahkan sudah lupa bahwa saya memiliki impian mengunjungi dan berfoto di
atas makam Mozart yang dimakamkan di Insbruck – Austria. Lalu, singkat
ceritanya, saat saya berada disana, saya berfoto berdiri seperti yang saya
bayangkan dulu, 25 tahun lalu pernah saya bayangkan.
Impian
itu menjadi kenyataan, entah bagaimana caranya. “Kenyataan itu tidak saya beli
dengan uang, tetapi saya beli dengan keyakinan.” Demikian juga dengan kekuatan
impian yang membawa saya mengunjungi Australia dan beberapa kota lain dalam
kesempatan yang berbeda. Waktu saya awal-awal sebagai karyawan Telkom dan
melihat dengan sangat dalam, saya berada di sebuah foto para pemimpin saya yang
sedang berada di sebuah tempat bagus di Australia, saya katakan pada diri ini,
“Kamu nanti perlu berada disana’.
Melalui
tulisan ini, saya kurang mampu menjelaskan bagaimana proses sebuah impian
bermetamorfosis menjadi sebuah kenyataan seperti beberapa hal yang saya alami
dalam hidup saya pribadi. Namun kembali lagi kepada sebuah keinginan yang kuat
untuk mengingatkan semua pembaca artikel ini, “Rasakanlah ketika sebuah impian
Anda muncul dan hiduplah dalam impian itu dengan keyakinan Anda !”
Impian
yang kuat akan membukakan gerbang dan jalan pencapaian yang terkadang tidak
masuk akal, dan terkadang impian terlealisasi pada saat kita hampir lupa atau
mungkin sudah lupa dengan impian itu.
Bangunlah
impian Anda menjadi hidup dan hiduplah di atas impian itu dalam keseharian Anda
melalui aktualisasi diri yang bermakna lewat karya-karya pembuka anugerah
kebaikan hidup.
Kita
tidak akan pernah memahami secara detail bagaimana segala sesuatu yang kita
impikan itu akan terjadi. Disnilah perbedaan letak dari apa yang disebut dengan
mimpi dan apa yang disebut dengan impian, yaitu pada KEKUATANNYA.
Sebelum
menulis artikel ini, sejujurnya saya memiliki impian. “Saya membayangkan banyak
sahabat sedang membaca artikel ini dan selanjutnya mereka akan membagikannya
kepada orang-orang yang mereka cintai.”
Impian
saya selanjutnya adalah menulis semakin banyak buku yang akan dibaca jutaan
manusia Indonesia yang ingin memperbaiki hidupnya. Selamat memiliki impian dan
merealisasikan impian-impian Anda !
Komentar
Posting Komentar